Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Desember 2016

, , , , , , , ,

Ayutthaya History

Kerajaan Ayutthaya merupakan kerajaan bangsa Thai yang berdiri pada kurun waktu 1351 sampai 1767 M. Nama Ayutthaya diambil dari Ayodhya, nama kerajaan yang dipimpin oleh Sri Rama, tokoh dalam Ramayana. Pada tahun 1350 Raja Ramathibodi I (Uthong) mendirikan Ayutthaya sebagai ibu kota kerajaannya dan mengalahkan dinasti Kerajaan Sukhothai, yaitu 640 km ke arah utara, pada tahun 1376.
Dalam perkembangannya, Ayutthaya sangat aktif melakukan perdagangan dengan berbagai negara asing seperti Tiongkok, India, Jepang, Persia dan beberapa negara Eropa. Penguasa Ayutthaya bahkan mengizinkan pedagang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Perancis untuk mendirikan pemukiman di luar tembok kota Ayutthaya. Raja Narai (1656-1688) bahkan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Raja Louis XIV dari Perancis dan tercatat pernah mengirimkan dutanya ke Perancis.
Pada tahun 1700-an, fase terakhir kerajaan tiba. Burma, yang telah mengendalikan dan juga lanna kerajaan mereka bersatu di bawah dinasti yang kuat, meluncurkan beberapa usaha invasi pada tahun 1750 dan 1760. Akhirnya, pada tahun 1767, Burma menyerang dan menaklukkan ibu kota itu. Keluarga kerajaan meninggalkan kota di mana raja meninggal karena kelaparan sepuluh hari kemudian. Ayutthaya garis kerajaan yang telah padam. Secara keseluruhan ada 33 raja di periode ini, termasuk raja tidak resmi.
Setelah melalui pertumpahan darah perebutan kekuasaan antar dinasti, Ayutthaya memasuki abad keemasannya pada perempat kedua abad ke-18. Di masa yang relatif damai tersebut, kesenian, kesusastraan dan pembelajaran berkembang. Perang yang terjadi kemudian ialah melawan bangsa luar. Ayutthaya mulai berperang melawan dinasti Nguyen (penguasa Vietnam Selatan) pada tahun 1715 untuk memperebutkan kekuasaan atas Kamboja.
Meskipun demikian ancaman terbesar datang dari Birma dengan pemimpin Raja Alaungpaya yang baru berkuasa setelah menaklukkan wilayah-wilayah Suku Shan. Pada tahun 1765 wilayah Thai diserang oleh dua buah pasukan besar Birma, yang kemudian bersatu di Ayutthaya. Menghadapi kedua pasukan besar tersebut, satu-satunya perlawanan yang cukup berarti dilakukan oleh sebuah desa bernama Bang Rajan. Ayutthaya akhirnya menyerah dan dibumihanguskan pada tahun 1767 setelah pengepungan yang berlarut-larut. Berbagai kekayaan seni, perpustakaan-perpustakaan berisi kesusastraan, dan tempat-tempat penyimpanan dokumen sejarah Ayutthaya nyaris musnah; dan kota tersebut ditinggalkan dalam keadaan hancur.

Dalam keadaan negara yang tidak menentu, provinsi-provinsi melepaskan diri dan menjadi negara-negara independen di bawah pimpinan penguasa militer, biksu pemberontak, atau sisa-sisa keluarga kerajaan. Bangsa Thai dapat terselamatkan dari penaklukan Birma karena terjadinya serangan Tiongkok terhadap Birma serta adanya perlawanan dari seorang pemimpin militer bangsa Thai bernama Phraya Taksin, yang akhirnya mengembalikan kesatuan negara.
Continue reading Ayutthaya History

Sabtu, 26 November 2016

, , , , , , , , ,

Budaya Perburuan Paus di Lamalera

Lamalera terletak di pantai selatan Pulau Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat ini Pulau lembata sudah menjadi kabupaten sendiri yang sebelumnya gabung dengan Kabupaten Flores Timur. Di hadapannya terbentang laut sawu yang cukup ganas. Sudah sejak dulu masyarakat Lamalera terkenal sebagai masyarakat nelayan, dan penangkap ikan paus secara tradisional. Secara administratif desa Lamalera berada di wilayah Kecamatan Wulandoni, di perkampungan tersebut lamalera terbagi menjadi dua desa yaitu Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.000 jiwa.
Dulunya kampung Lamalera merupakan kampung terpencil, terisolasi dan jauh dari keramaian, saat ini sudah mulai ada pembangunan PLN dan pembuatan jalan aspal untuk memudahkan alat tranportasi. Kampung-kampung Lamalera pun dibangun di atas batu cadas dan karang tepat di kaki atau di lereng bukit atau gunung. Desa Lamalera dengan panorama alam pegunungan yang sedikit gersang serta deruhnya ombak pantai selatan, topografinnya yang bergunung-gunung dan bebatuan dan disertai dengan kemiringan yang cukup terjal yang menantang hidup dan kehidupan orang Lamalera.
Perburuan ikan paus di dunia kini sudah dilarang, dikarenakan ikan paus disebut-sebut terancam punah apabila terus diburu oleh para nelayan. Namun di Lamalera masih diperbolehkan untuk melakukan perburuan paus. Selain di Indonesia, tempat lainnya adalah di Negara Kanada menurut National Geographic yang diperbolehkan melakukan perburuan paus. Menurut pandangan internasional juga dikarenakan bahwa perburuan paus ini merupakan perburuan paus tradisional, dan sudah menjadi budaya masyarakat Lamalera sendiri dari generasi ke generasi.
Dilihat dari segi tradisinya, ritual perburuan paus ini memiliki nilai religius di setiap aspeknya. Mulai dari persiapan, pembuatan kapal, pengangkatan layar, sampai pelemparan tombak, semuanya mengucap doa terlebih dahulu. Menjelang perburuan, diadakan upacara adat sekaligus misa untuk memohon berkah dari sang leluhur serta mengenang para Arwah nenek moyang mereka yang gugur di medan Bahari bergelut dengan sang paus. Upacara dan Misa atau biasa disebut lefa dilaksanakan setiap tanggal 1 Mei. Dalam kepercayaan para lamafa, perahu yang digunakan untuk perburuan ikan paus sudah dianggap seperti istri sendiri.
Secara resminya penangkapan ikan paus terjadi pada bulan Mei-November, namun tak jarang juga bulan Desember-April nelayan lamalera tetap melakukan penangkapan paus ketika paus tersebut melewati perairan laut Sawu. Hal ini bukan bearti melanggar adat yang sudah di tetapkan, di mana pada bulan-bulan tersebut orang Lamalera menamakan bulan perburuan atau yang disebut dengan baleo. Musim Lefa ini merupakan waktu khusus untuk melaut, serta berburu ikan paus dan ikan -ikan besar kainnya seperti lumba-lumba, hiu, pari. Di saat musim inilah masyarakat Lamalera beramai-ramai pergi melaut. Menurut mereka di musim-musim inilah ikan-ikan besar sering muncul dan bermain menampakan dirinya di permukaan Laut Sawu.
Masyarakat Lamalera pada prinsipnya untuk berburu menggunakan cara tradisional, untuk menangkap Paus atau biasa disebut Kotoklema (Sperm Whale/Physeter macrocephalus) menggunakan perahu layar yang menurut bahasa daerah Lamalera disebut peledang. Perahu layar tersebut dilengkapai dengan alat tikam/tombak yang disebut tempuling, tali panjang (tali leo), yang ikatkan pada mata tombak (tempuling), dan ditambah bambu sepanjang 4 meter sebagai alat bantu tikam. Dalam satu peledang biasanya di muati oleh 7 awak dan orang yang khusus memegang peranan dalam menikam paus adalah juru tikam yang disebut lamafa.
Peledang didisain tanpa ada penutup agar para awak kapal dapat memantau ikan yang muncul kepermukaan. Setelah sudah terlihat maka peledadang akan mendekati ikan tersebut dan juru tikam angkat tempuling dan siap untuk menancapkan tempuling tersebut tepat kebagian jantung paus tersebut, biasanya tiakaman sampai 4 kali atau bahkan lebih. Ketika tikaman pertama ini merupakan saat–saat yang paling berbahaya bagi para awak peledang karena paus akan berontak dan mengamuk, tak jarang perahu peledang akan di bawa oleh paus ke dalam laut atau terbalik balik bahkan dihancurkan oleh oleh kepala atau ekor paus.
Tantangan seorang lamafa saat menaklukkan paus terjadi ketika akan menghunjamkan tombak. Untuk koteklema, tombak dihunjamkan tepat di belakang kepala karena di situlah bagian yang lunak. Sebaliknya, memburu seguni lebih sulit karena para nelayan Lamalera mengincar bagian ketiaknya agar tempuling bisa menusuk langsung ke jantung paus pembunuh itu. Tikaman pertama merupakan peristiwa yang amat krusial. Nyawa lamafa dan awak perahu menjadi taruhan. Sebab, satu sabetan ekor paus bisa seketika menghancurkan perahu nelayan. Para nelayan harus menunggu sampai paus itu lemas. Biasanya paus akan lemas setelah 45–50 menit. Darah akan menggenangi laut dan paus akan kembali ke permukaan.
Saat itu paus akan didekati dan awak perahu terjun ke laut untuk melakukan tikaman dengan pisau. Jika perlu, tikaman bisa dilakukan hingga berkali-kali. Tujuannya, memastikan paus itu mati saat dibawa ke darat.Selain perburuannya yag menegangkan, pembagian daging paus hasil buruan juga merupakan pemandangan yang menarik. Pembagian daging paus merupakan tradisi turun-temurun yang ditaati oleh semua orang Lamalera, sehingga dipastikan tidak ada rebutan saat daging itu dipotong. Intinya, pihak yang memiliki keterkaitan dengan Desa Lamalera, dengan perahu yang mendapatkan paus, akan mendapatkan haknya. Semua bagian paus adalah penting dan terpakai semua antara lain adalah daging, kulit, lemak, darah, dan tulang. Ketika ada satu ekor paus ditikam maka semua masyarakat Lamalera akan mendapatkan jatah semua, walaupun tidak ikut kelaut, karena bisa dibarter dengan ikan lain atau hasil bumi.
Untuk mereka yang berburu di laut, sudah ada aturan pembagiannya. Selain peledang, ada juga perahu perahu dengan motor yang mengikuti perburuan. Jika di peledang ada sembilan awak perahu dan di perahu motor ada dua awak, mereka semua mendapatkan haknya. Para awak perahu mendapatkan bagian paus yang diistilahkan dengan meng. Untuk meng ini, banyak bagian yang bisa dipotong dan dibagi-bagikan ke awak perahu. Bagian sirip kanan dan kiri, masing-masing untuk rumah adat dan lamafa. Bagian kepala diberikan kepada lango fujo atau suku tuan tanah. Ekor dibagi menjadi banyak bagian karena di sana terdapat hak lamafa, laba ketilo, matros, lamauri. Para janda juga mendapatkan hak daging paus, karena mereka juga sering menyumbang makanan dan rokok.

Source :http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/03/lembata-lamera-dan-perburuan-paushttp://indonesiaindonesia.com/f/91282-tradisi-menangkap-ikan-paus-lamalera-and/
Continue reading Budaya Perburuan Paus di Lamalera

Kamis, 24 November 2016

, , , , , , , , , , , , , , ,

Tiga Destinasi Wisata Muria

MAKAM SUNAN MURIA


Sunan Muria adalah salah satu personil Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Sunan Muria dimakamkan di Pegunungan Muria. Secara administratif makam Sunan Muria terletak di Ds. Colo kec. Dawe kab. Kudus. Jawa Tengah. Muria merupakan kawasan pegunungan, sehingga para peziarah harus menapak tangga sejauh 500 meter atau dengan menggunakan jasa  ojek untuk sampai ke makam. Para wisatawan religi berziarah untuk mengharapkan karomah dan ada yang mempunyai tujuan tertentu, misalnya menunaikan hajat, dan menunaikan nadzar.
 Di kiri dan kanan jalan atau anak tangga terdapat kios-kios yang menjual souvenir dan makanan khas Muria yakni Jangklong, parijoto, pisang, ganyong. Tiket masuk ke makan sunan muria (Colo) adalah 1.500/orang, dan apabila mebawa sepeda motor kita cukup menambah 1.000/sepeda motor.

AIR TERJUN MONTEL


Terletak satu kawasan dengan Muria (di desa Colo), dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira 1 km dari makam Sunan Muria. Air terjun Montel adalah salah satu dari destinasi wisata alam di Muria yang letaknya paling dekat dengan makam Sunan Muria. Untuk dapat menikmati pesona alam air terjun Monthel cukup membayar 7.500/orang.  Air terjun ini kadang digunakan sebagai tempat “pacaran” padahal ada mitos bahwa “kalau pacaran di Muria akan Putus”.
 Keindahan alam yang tersaji memberikan pesona tersendiri. Segarnya air dari Pegunungan Muria, dipadu dengan pemandangan alam yang masih hijau dapat memberi efek relaksasi pada setiap pengunjung yang datang. Tak jarang juga, air terjun Montel menjadi tujuan bagi para siswa yang baru selesai melaksanakan UN, dan tentunya bagi para pengunjung yang membutuhkan relaksasi.

AIR TIGA RASA REJENU


Secara administrasi terletak di desa Japan Kec. Dawe Kab. Kudus, air tiga rasa merupaka satu kompeks dengan makam syekh Sdzali. Air tiga rasa konon adalah bekas tempat wudlu yang digunakan oleh Syek Sadzali. Dan sekarang berkembang kepercayaan bahwa air tiga rasa adalah manfaatnya yang tiga yakni kekayaan, jabatan, ilmu.

Untuk masuk ke obyek ini cukup membayar 7.500/orang (kalau sudah beli tiket di obyek air terjun Montel tidak usah bayar lagi). Dapat dicapai dengan menyusuri jalan setapak dari air terjun Montel atau memakai motor dengan melewati perumahan penduduk desa Japan. Unsur utama obyek ini sebenarnya adalah makam syekh sadzali, namun karena mitos tentang air tiga rasa itu sangat kuat. Sehingga pengunjung apabila ke obyek tersebut hanya mencoba air tiga rasa dan tidak ziarah.
Continue reading Tiga Destinasi Wisata Muria

Senin, 21 November 2016

, , , , , , ,

PERANG JAWA : PERANG TANPA TUJUAN MENANG

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta, pada tanggal 11 November 1785. Beliau adalah anak selir dari istri Pangeran Adipati Mangkunegoro yang merupakan Sultan Hamengku Buwono III. Pangeran Diponegoro juga memiliki nama kecil seperti orang jawa umumnya pada masa itu, yaitu Raden Mas Antawirya. Sedangkan nama dewasa beliau adalah Ngabdul Kamid Erucakra (KEMENDIKBUD, 2012:429).

Pangeran Diponegoro adalah penyulut Perang Jawa atau biasa disebut Perang Diponegoro. Perang ini dimulai pada tahun 1825 hingga berakhir pada saat Pangeran Diponegoro ditangkap yaitu pada tahun 1830. Perang Jawa merupakan perang antara kubu Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan Hindia Belanda. Kubu Pangeran Diponegoro kebanyakan adalah rakyat jelata dan masyarakat islam pada saat itu. Sejarawan mainstream menyimpulkan penyebab utama Perang Jawa adalah insiden di Tegalrejo yang merupakan rumah Pangeran Diponegoro (KEMENDIKBUD, 2012:430).

Penyebab sebenarnya dari Perang Jawa. 
Insiden Tegalrejo adalah peristiwa sengketa patok tanah dari Pangeran Diponegoro dengan Hindia Belanda. Hindia Belanda membuka lahan untuk pembuatan jalan dengan melewati tanah milik keluarga Pangeran Diponegoro (Nugroho Notosusanto, 1986:162). Peristiwa ini menjadi penyebab mainstream oleh sejarawan yang membahas mengenai Perang Jawa. Namun pada komik sejarah Perang Jawa seri 1, dituliskan bahwa insiden Tegalrejo hanya membuat perang meletus lebih awal dari yang direncanakan oleh Pangeran Diponegoro. Setelah ditelusuri dari berbagai sumber yang membahas Perang Jawa, pernyataan tersebut adalah benar. 

Pada buku Indonesia Dalam Arus Sejarah, Pangeran Diponegoro disebut sudah sejak lama merencanakan perang terhadap Hindia Belanda. Tegalrejo bukan lagi sebuah perdikan yang sunyi, melainkan suatu tempat berkumpulnya para pemimpin masyarakat untuk “menjual” dan “membeli” gagasan, serta menyusun rencana dan aksi rahasia tatkala Kesultanan Yogyakarta mengalami kekosongan kepemimpinan. Kegiatan ini tidak pernah tercium oleh pemerintah Hindia Belanda maupun penguasa Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro bahkan sudah mengirim abdi dalem untuk mengawasi penguasa kesultanan dan pemerintah Hindia Belanda (KEMENDIKBUD, 2012:430). 

Perang Jawa pada dasarnya lahir karena Pangeran Diponegoro mencita-citakan Kesultanan Yogyakarta yang memuliakan agama berada dalam wadah negara (balad) Islam. Ditambah pula oleh pengalaman Pangeran Diponegoro sendiri dalam berpolitik, pada saat beliau membantu ayahnya yang sedang bersengketa kekuasaan terhadap kakek beliau yang merupakan Sultan Hamengku Buwono II. Pada saat tersebut Pangeran Diponegoro sadar adanya campur tangan asing dalam menentukan seorang sultan. Pangeran Diponegoro menyaksikan sendiri betapa mahalnya kompensasi yang diminta oleh Raffles tatkala ayahnya diangkat sebagai sultan. 

Alasan Perang Jawa disebut sebagai perang tanpa tujuan menang. 
Sebuah buku dari Peter Carey yang berjudulkan Ekologi Kebudayaan Jaya & Kitab Kedung Kebo ternyata menyimpan sebuah penjelasan dari pernyataan Perang Jawa sebagai perang tanpa tujuan menang. Dalam komik sejarah Perang Jawa seri 1 ini, Aji Prasetyo menuliskan bahwa Pangeran Diponegoro hanya mengisolasi Kesultanan Yogyakarta, pernyataan tersebut dibenarkan oleh buku Indonenesia Dalam Arus Sejarah. 

Kemudian dalam komik sejarah Perang Jawa seri 1 menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro tidak menyerbu Keraton Mangkunegara, padahal dengan keadaan saat itu apabila dilakukan perundingan atau penyerbuan pihak Pangeran Diponegoro akan menang. Akibat dari tindakan Pangeran Diponegoro tersebut adalah datangnya pasukan bantuan dari pemerintah Hindia Belanda dari berbagai wilayah Indonesia. Kemudian pasukan bantuan ini mendorong pasukan Pangeran Diponegoro sampai wilayah Pajang. Setelah peristiwa tersebut hampir tidak ada kemungkinan bagi Pangeran Diponegoro untuk memenangkan perang. 

Peter Carey menuliskan bahwa dalam dalam buku Kedung Kebo yang ditulis oleh Cakranegara (saudara satu guru Pangeran Diponegoro) menyatakan sebelum terjadinya Perang Jawa ada tanda-tanda disertai keajaiban-keajaiban yang diterima oleh Pangeran Diponegoro. Tanda tanda ini dapat dibagi sebagai berikut : 
  1. Sebelum Perang Jawa mengenai tanda-tanda yang disertai keajaiban. 
  2. Setelah meletusnya Perang Jawa (sedang perang), pembicaraan membahas ramalan Jayabaya mengenai Perang Jawa. 
Sebelum Perang Jawa Pangeran Diponegoro mengirimkan abdi dalemnya yaitu Jayamustapa untuk bersemadi di kuburan Sultan Agung ditemani oleh jurukunci, Kyai Balad. Didapatkan suatu petunjuk yang diartikan jurukunci bahwa Pulau Jawa akan terjadi peperangan yang banyak menumpahkan darah penduduknya. Pangeran Diponegoro paham betul artinya, beliau kembali mengirimkan Jayamustapa yang disertai tiga orang lainnya ke Nusakambangan untuk mencari bunga Wijaya Kusuma. Bunga Wijaya Kusuma menurut orang Jawa adalah bunga yang dicari oleh orang yang ingin mengambil mahkota kekuasaan, apabila menemukan maka akan sukses pengambilan kekuasaannya. Pada tugas tersebut Jayamustapa dan tiga orang yang menemaninya tidak dapat menemukan bunga Wijaya Kusuma(Peter Carey, 1986:46-47). Kembalinya Jayamustapa dan tiga orang yang menemaninya tanpa membawa bunga tersebut ke hadapan Pangeran Diponegoro, beliau sudah mengerti bahwa perang yang akan terjadi tidak akan membuahkan kemenangan. Selain dari mengirimkan orang, Pangeran Diponegoro lebih lanjut mengkaji ramalan Jayabaya yang membahas mengenai perang yang akan terjadi dikarenakan dirinya. Dalam ramalan tersebut Pangeran Diponegoro semakin yakin bahwa memang belum waktunya menang melawan asing. Tetapi, perang yang akan terwujud itu merupakan pembuka atau yang mengawali perang atau perjuangan-perjuangan selanjutnya untuk mengusir asing (Peter Carey, 1986:50).

Ditulis sebagai mini makalah.
Continue reading PERANG JAWA : PERANG TANPA TUJUAN MENANG