Selasa, 22 November 2016

, , , , , , , ,

Sinkretisme Agama Islam Kejawen

Orang jawa telah mengenal agama sejak jaman pra aksara. Serat Ramayana yang berasal dari abad ke-9 menunjukan bahwa orang Jawa sudah memeluk agama Hindu dan Buddha hingga abad 15. Namun setelah abad 15 tersebut mulai banyak orang jawa yang masuk Islam, yang dikarenakan Raja Brawijaya V atau raja terakhir Majapahit masuk Islam. Prinsip agama ageming aji membuat rakyat jawa akan selalu mengikuti agama yang raja anut. Ditambah dengan munculnya Kerajaan Demak yang menganut aturan Islam sebagai hukumnya.


Agama Islam telah mengubah wajah orang Jawa yang dulunya beragama Hindu Buddha. Karena kuatnya tradisi Jawa membuat Islam harus berakulturasi dengan tradisi-tradisi di Jawa itu sendiri. Wujud akulturasi yang terjadi kemudian membentuk wajah baru ajaran khas Jawa, yang kemudian dikenal dengan nama Islam Kejawen. Kemudian Islam dan Kejawen saat ini sudah hampir tidak bisa dibedakan. Unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya Jawa seperti wayang kulit, lagu-lagu dolanan anak, cerita-cerita kuno, dan upacara-upacara tradisi yang berakulturasi.
Akulturasi agama dan budaya seperti ini tidak akan terjadi tanpa peran Walisongo yang telah berjasa menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Seperti Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang bisa dikatakan sebagai generasi pertama Walisongo. Beliau menyebarkan Islam dengan ditambahi unsur-unsur budaya lokal yaitu budaya jawa atau kejawen itu sendiri. Contohnya penggunaan kata santri yang berasal dari kata shastri berarti orang yang tahu buku suci dalam agama Hindu. Penggunaan nama lokal yaitu Raden Rahmat juga menjadi salah satu bentuk pendekatan tersendiri untuk membumikan Islam di Tanah Jawa.
Sunan Kalijaga juga turut ambil bagian dalam penyebaran Islam dengan akulturasi agama dengan budaya. Beberapa contohnya yaitu penyebaran Islam dengan pertunjukan wayang, dan gamelan yang diberi bumbu Islam. Contoh lainnya adalah Sunan Bonang, asal kata bonang sendiri dari salah satu instrumen alat musik dari timur yang dimasukan dalam gamelan. Masyarakat setempat mempercayai suara yang dihasilkan dari bonang digunakan Sunan Bonang untuk menetralisir emosi dari para penjahat-penjahat pada jamannya saat itu.

Sejarah masuknya Agama Islam di Jawa
Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun untuk didatangi, ditambah dengan ramahnya orang  Jawa yang sudah dikenal berabad-abad lalu. Termasuk pada pedagang-pedagang dan ulama dari tanah Timur Tengah. Sekitar pada abad ke-7, Islam masuk ke Pulau Jawa tak berbeda dengan Islam masuk ke Malaka, dan Sumatra. Buktinya adalah adanya berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan Raja Ta Cheh kepada Ratu Sima. Menurut Hamka, Raja Ta Cheh merupakan Raja Arab yang hidup pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Agama Islam di Pulau Jawa terus berkembang melalui ulama-ulama yang ikut berdagang dan menetap sementara untuk melanjutkan pengembaraannya.
Ulama-ulama yang menyebarkan Islam di Jawa, mereka sudah mendapat restu dari Raja Brawijaya. Sebagai buktinya, adanya makam di daerah ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan, tepatnya makam Troloyo. Ketujuh makam di situs tersebut berangka tahun 1368 masehi, memiliki candrasengkala, dan tulisan arab pada nisannya. Makam tersebut dipercaya oleh orang-orang setempat sebagai makam dari kalangan istana yang sudah masuk Islam. Pada jaman Hindu Buddha memang orang Jawa belum mengenal adanya penggunaan batu nisan untuk kuburan.
Pada jaman Walisongo perkembangan Islam sudah mulai terlihat secara gamblang. Mulai dari munculnya kerajaan islam yaitu Kerajaan Demak, hingga munculnya alim ulama dan menyebar ke daerah-daerah di Jawa. Penyebaran Islam oleh Walisongo merupakan salah satu penyebaran Islam di Asia Tenggara yang bisa dikatakan paling damai hampir tanpa gejolak. Wali yang bisa dibilang paling berjasa adalah Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Beliau berdua mampu memadukan kedua unsur agama dan budaya sehingga Islam dapat diterima dengan baik, dan bahkan banyak yang masuk Islam dengan metode kedua sunan tersebut.
Sunan Ampel mungkin sedikit memiliki pandangan berbeda dari 2 wali diatas. Apabila Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga secara gamblang memodifikasi Islam sehingga berwajah Jawa. Berbeda dengan Sunan Ampel yang masih berhati-hati, dan ingin Islam yang masuk masih belum tercampur-baurkan. Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga berpendapat bahwa adat-istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. Sedang adat-istiadat kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah kemusyrikan ditinggalkan.

Kebudayaan Kejawen
Kebudayaan adalah hasil upaya manusia dari masa ke masa untuk tetap bertahan hidup dalam artian keselamatan dan kesejahteraan. Orang Jawa membentuk jati diri kebudayaannya sejak asal mula orang Jawa ada. Berbagai tantangan dan perjuangan menghadapi lingkungan alam yang ganas membentuk ke-khas-an sistem kebudayaan. Kebudayaan Jawa masa kini merupakan warisan sejarah dari masa lampau yang terus berkembang.
Kebudayaan Jawa salah satunya kepercayaan Kejawen, merupakan kebudayaan yang sudah mendarah daging bagi orang Jawa. Terbukanya orang Jawa terhadap hal baru, membuat Kejawen mudah berkembang dengan menyerap hal-hal yang baru tersebut seperti agama. Banyak orang luar Indonesia tertarik dengan hal ini yang kemudian disebut sinkretisme. Walaupun Kejawen disebut sebagai kepercayaan, tidak ada ulasan yang sahih menyebutkan Kejawen sebagai agama.
Masa ke masa, Kejawen selalu berjalan berdampingan dengan agama yang dianut oleh masyarakat pada masanya. Banyak proses melokalkan rasa luar dari suatu agama menjadi rasa lokal. Ketika jaman Hindu, Kejawen memberi warna tersendiri terhadap ajaran-ajaran dalam Hindu. Seperti adanya Punakawan dalam pewayangan jawa, yang aslinya merupakan sastra agama Hindu, salah satunya mengenai babak perang Bharatayuda.
Islam juga demikian, Kejawen memberi rasa lokal seperti adanya selametan dan upacara-upacara lainnya yang adaptasi dari kebudayaan Jawa. Tanpa melakukan pemberian rasa Jawa terhadap proses Islamisasi di Tanah Jawa, Islam tak akan begitu mudahnya diterima oleh masyarakat. Pada agama Katolik juga demikian, di sekitaran Jogja atau tepatnya Gunung Kidul. Masih tetap ada upacara agama Katolik dengan pernak-pernik Jawa, seperti penggunaan pakaian jarik, blangkon, dan adanya kemenyan dan sesaji.
Pada masa lebih modern yaitu era Mataram Islam, Kejawen menjadi salah satu identitas dari Kerajaan Mataram Islam hingga saat ini ketika sudah terpecah belah menjadi 4 di DIY dan Surakarta. Sebutannya yaitu sinkretisme Islam dari budaya Jawa atau Kejawen. Membuat Islam lebih berwarna dengan banyaknya upacara-upacara dan sesaji. Hal tersebut tetap masih dipegang teguh oleh para praktisinya atau bangsawan. Karena memang sudah menjadi kewajiban mereka yang diwariskan secara turun-temurun. Mungkin aneh ketika saat ini kita melihat dulu pada saat Perang Jawa, Pangeran Diponegoro yang merupakan penganut Islam yang taat dan mendambakan Kerajaan Islam tanpa campur tangan Belanda, mencari petunjuk dari hal-hal klenik seperti mencari Bunga Wijayakusuma di Nusakambangan yang dipercaya ketika menemukan menandakan perangnya akan berhasil.

Sinkretisme Islam dan Kejawen
Menjadi sebuah fenomena sosial ketika sebuah kepercayaan dan agama yang jelas berbeda menjadi satu. Saat ini masih banyak yang menganggap Islam Kejawen merupakan Islam yang sesat dan sebagainya. Namun ketika kita melihat dari sudut pandang budaya, dan akademis, hal tersebut menjadi lumrah. Sinkretisme Islam dengan Kejawen. Sebutan Sinkretisme sebetulnya mengandung suatu ironi, bahwa Islam tidak lagi tampil asli, namun sudah tercampur dengan hal-hal eksternal seperti Islam Kejawen dalam masyarakat Jawa. Selain itu, Sinkretisme juga mengandung asumsi tersembunyi bahwa seolah-olah unsur utama adalah Islam, dan Kejawen merupakan unsur tambahan yang menyebabkan reduksi.

Dalam kajian lain juga menyebutkan bahwa Islam sebagai unsur utama yang dapat menaklukan unsur tambahannya yaitu Kejawen. Namun apabila di analisa secara historis, kedudukan Islam dan Kejawen tidaklah sama. Walaupun unsur Kejawen dapat luntur dari akulturasi tersebut, tetapi Kejawen tetap dapat melakukan penolakan  untuk dihapuskan.