Orang jawa telah mengenal agama sejak
jaman pra aksara. Serat Ramayana yang berasal dari abad ke-9 menunjukan bahwa
orang Jawa sudah memeluk agama Hindu dan Buddha hingga abad 15. Namun setelah
abad 15 tersebut mulai banyak orang jawa yang masuk Islam, yang dikarenakan Raja
Brawijaya V atau raja terakhir Majapahit masuk Islam. Prinsip agama ageming aji membuat rakyat jawa
akan selalu mengikuti agama yang raja anut. Ditambah dengan munculnya Kerajaan
Demak yang menganut aturan Islam sebagai hukumnya.
Agama Islam telah mengubah wajah orang
Jawa yang dulunya beragama Hindu Buddha. Karena kuatnya tradisi Jawa membuat
Islam harus berakulturasi dengan tradisi-tradisi di Jawa itu sendiri. Wujud
akulturasi yang terjadi kemudian membentuk wajah baru ajaran khas Jawa, yang
kemudian dikenal dengan nama Islam Kejawen. Kemudian Islam dan Kejawen saat ini
sudah hampir tidak bisa dibedakan. Unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan
dalam budaya Jawa seperti wayang kulit, lagu-lagu dolanan anak, cerita-cerita
kuno, dan upacara-upacara tradisi yang berakulturasi.
Akulturasi agama dan budaya seperti ini
tidak akan terjadi tanpa peran Walisongo yang telah berjasa menyebarkan Islam
di Tanah Jawa. Seperti Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang bisa dikatakan sebagai
generasi pertama Walisongo. Beliau menyebarkan Islam dengan ditambahi
unsur-unsur budaya lokal yaitu budaya jawa atau kejawen itu sendiri. Contohnya
penggunaan kata santri yang berasal dari kata shastri berarti orang yang tahu buku suci dalam agama Hindu.
Penggunaan nama lokal yaitu Raden Rahmat
juga menjadi salah satu bentuk pendekatan tersendiri untuk membumikan Islam di
Tanah Jawa.
Sunan Kalijaga juga turut ambil bagian
dalam penyebaran Islam dengan akulturasi agama dengan budaya. Beberapa
contohnya yaitu penyebaran Islam dengan pertunjukan wayang, dan gamelan yang
diberi bumbu Islam. Contoh lainnya adalah Sunan Bonang, asal kata bonang
sendiri dari salah satu instrumen alat musik dari timur yang dimasukan dalam
gamelan. Masyarakat setempat mempercayai suara yang dihasilkan dari bonang
digunakan Sunan Bonang untuk menetralisir emosi dari para penjahat-penjahat
pada jamannya saat itu.
Sejarah masuknya
Agama Islam di Jawa
Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun
untuk didatangi, ditambah dengan ramahnya orang
Jawa yang sudah dikenal berabad-abad lalu. Termasuk pada
pedagang-pedagang dan ulama dari tanah Timur Tengah. Sekitar pada abad ke-7,
Islam masuk ke Pulau Jawa tak berbeda dengan Islam masuk ke Malaka, dan
Sumatra. Buktinya adalah adanya berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan
Raja Ta Cheh kepada Ratu Sima. Menurut Hamka, Raja Ta Cheh merupakan Raja Arab
yang hidup pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Agama Islam di Pulau
Jawa terus berkembang melalui ulama-ulama yang ikut berdagang dan menetap
sementara untuk melanjutkan pengembaraannya.
Ulama-ulama yang menyebarkan Islam di
Jawa, mereka sudah mendapat restu dari Raja Brawijaya. Sebagai buktinya, adanya
makam di daerah ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan, tepatnya makam Troloyo.
Ketujuh makam di situs tersebut berangka tahun 1368 masehi, memiliki
candrasengkala, dan tulisan arab pada nisannya. Makam tersebut dipercaya oleh
orang-orang setempat sebagai makam dari kalangan istana yang sudah masuk Islam.
Pada jaman Hindu Buddha memang orang Jawa belum mengenal adanya penggunaan batu
nisan untuk kuburan.
Pada jaman Walisongo perkembangan Islam
sudah mulai terlihat secara gamblang. Mulai dari munculnya kerajaan islam yaitu
Kerajaan Demak, hingga munculnya alim ulama dan menyebar ke daerah-daerah di
Jawa. Penyebaran Islam oleh Walisongo merupakan salah satu penyebaran Islam di
Asia Tenggara yang bisa dikatakan paling damai hampir tanpa gejolak. Wali yang
bisa dibilang paling berjasa adalah Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Beliau
berdua mampu memadukan kedua unsur agama dan budaya sehingga Islam dapat
diterima dengan baik, dan bahkan banyak yang masuk Islam dengan metode kedua
sunan tersebut.
Sunan Ampel mungkin sedikit memiliki
pandangan berbeda dari 2 wali diatas. Apabila Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga
secara gamblang memodifikasi Islam sehingga berwajah Jawa. Berbeda dengan Sunan
Ampel yang masih berhati-hati, dan ingin Islam yang masuk masih belum
tercampur-baurkan. Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga berpendapat bahwa adat-istiadat
lama yang masih bisa diarahkan kepada agama tauhid maka kita akan memberinya
warna Islam. Sedang adat-istiadat kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke
arah kemusyrikan ditinggalkan.
Kebudayaan Kejawen
Kebudayaan adalah hasil upaya manusia
dari masa ke masa untuk tetap bertahan hidup dalam artian keselamatan dan
kesejahteraan. Orang Jawa membentuk jati diri kebudayaannya sejak asal mula
orang Jawa ada. Berbagai tantangan dan perjuangan menghadapi lingkungan alam
yang ganas membentuk ke-khas-an sistem kebudayaan. Kebudayaan Jawa masa kini
merupakan warisan sejarah dari masa lampau yang terus berkembang.
Kebudayaan Jawa salah satunya
kepercayaan Kejawen, merupakan kebudayaan yang sudah mendarah daging bagi orang
Jawa. Terbukanya orang Jawa terhadap hal baru, membuat Kejawen mudah berkembang
dengan menyerap hal-hal yang baru tersebut seperti agama. Banyak orang luar
Indonesia tertarik dengan hal ini yang kemudian disebut sinkretisme. Walaupun
Kejawen disebut sebagai kepercayaan, tidak ada ulasan yang sahih menyebutkan
Kejawen sebagai agama.
Masa ke masa, Kejawen selalu berjalan
berdampingan dengan agama yang dianut oleh masyarakat pada masanya. Banyak
proses melokalkan rasa luar dari suatu agama menjadi rasa lokal. Ketika jaman
Hindu, Kejawen memberi warna tersendiri terhadap ajaran-ajaran dalam Hindu.
Seperti adanya Punakawan dalam pewayangan jawa, yang aslinya merupakan sastra
agama Hindu, salah satunya mengenai babak perang Bharatayuda.
Islam juga demikian, Kejawen memberi
rasa lokal seperti adanya selametan dan upacara-upacara lainnya yang adaptasi
dari kebudayaan Jawa. Tanpa melakukan pemberian rasa Jawa terhadap proses
Islamisasi di Tanah Jawa, Islam tak akan begitu mudahnya diterima oleh
masyarakat. Pada agama Katolik juga demikian, di sekitaran Jogja atau tepatnya
Gunung Kidul. Masih tetap ada upacara agama Katolik dengan pernak-pernik Jawa,
seperti penggunaan pakaian jarik, blangkon, dan adanya kemenyan dan sesaji.
Pada masa lebih modern yaitu era Mataram
Islam, Kejawen menjadi salah satu identitas dari Kerajaan Mataram Islam hingga
saat ini ketika sudah terpecah belah menjadi 4 di DIY dan Surakarta. Sebutannya
yaitu sinkretisme Islam dari budaya Jawa atau Kejawen. Membuat Islam lebih
berwarna dengan banyaknya upacara-upacara dan sesaji. Hal tersebut tetap masih
dipegang teguh oleh para praktisinya atau bangsawan. Karena memang sudah
menjadi kewajiban mereka yang diwariskan secara turun-temurun. Mungkin aneh
ketika saat ini kita melihat dulu pada saat Perang Jawa, Pangeran Diponegoro
yang merupakan penganut Islam yang taat dan mendambakan Kerajaan Islam tanpa
campur tangan Belanda, mencari petunjuk dari hal-hal klenik seperti mencari
Bunga Wijayakusuma di Nusakambangan yang dipercaya ketika menemukan menandakan
perangnya akan berhasil.
Sinkretisme
Islam dan Kejawen
Menjadi sebuah fenomena sosial ketika
sebuah kepercayaan dan agama yang jelas berbeda menjadi satu. Saat ini masih
banyak yang menganggap Islam Kejawen merupakan Islam yang sesat dan sebagainya.
Namun ketika kita melihat dari sudut pandang budaya, dan akademis, hal tersebut
menjadi lumrah. Sinkretisme Islam dengan Kejawen. Sebutan Sinkretisme
sebetulnya mengandung suatu ironi, bahwa Islam tidak lagi tampil asli, namun
sudah tercampur dengan hal-hal eksternal seperti Islam Kejawen dalam masyarakat
Jawa. Selain itu, Sinkretisme juga mengandung asumsi tersembunyi bahwa
seolah-olah unsur utama adalah Islam, dan Kejawen merupakan unsur tambahan yang
menyebabkan reduksi.
Dalam kajian lain juga menyebutkan bahwa
Islam sebagai unsur utama yang dapat menaklukan unsur tambahannya yaitu
Kejawen. Namun apabila di analisa secara historis, kedudukan Islam dan Kejawen
tidaklah sama. Walaupun unsur Kejawen dapat luntur dari akulturasi tersebut,
tetapi Kejawen tetap dapat melakukan penolakan
untuk dihapuskan.